Logo IAI

QUO VADIS PRAKTIK PROFESI ARSITEK INDONESIA?

Catatan Ketua Umum Ikatan Arsitek Indonesia, Mei 2025


Kita Berada dalam Badai yang Sama

“May be we are not in the same boat, but we are in the same storm” , mungkin kita tidak dalam kapal yang sama, tapi kita berada dalam badai yang sama , tugas Nakhoda dan awak kapal adalah memastikan semua keputusan-keputusan yang diambil meminimalisasi resiko kapal tenggelam. Keputusan bermanuver memutar, menghindari area inti badai mungkin akan membuat kapal lebih lambat, namun merupakan pilihan yang paling masuk akal dibanding menerjang badai yang tingkat kerusakannya tidak dapat diukur.

Perumpamaan ini menggambarkan posisi profesi arsitek pada era disrupsi luas, dari dipicu oleh Industri 4.0 hingga keresahan dengan keberadaan AI [ Artificial Intelligent ] yang akan banyak berpengaruh kepada milyaran orang dan pekerjaan yang dihadapi, termasuk Profesi Arsitek. Dengan keberadaan AI studio arsitektur mungkin akan bergeser menjadi platform, pekerjaan Arsitek akan lebih strategis sebagai kolabolator, dalam hal ini AI akan meredefinisikan ulang design : faster-smarter-cleaner, dimana smart building will required smarter architect , ditengah issue keberlanjutan sustainable building dan adaptive reuse akan menempati posisi penting.

Bagaimana AI dapat membantu kinerja Arsitek?

Setidaknya ada 4 informasi penting yang harus menjadi parameter:

  • Konteks dan tujuan
  • Kesahihan data tapak
  • Batasan teknis dan regulasi
  • Parameter kinerja

Sehingga AI dapat membantu simulasi kinerja design sejak awal.

Namun sebelum lebih jauh pada diskursus keberadaan AI , mari bersama-sama kita lihat kilas balik apa yang terjadi dengan praktik Profesi Arsitek di Indonesia saat ini dan bagaimana kita bersama menyikapinya kedepan.

Arsitek sebagai Profesi Teregulasi

Mengapa Profesi Arsitek harus merupakan Profesi Teregulasi ? UNESCO, sebagai badan PBB yang menaungi pendidikan dan kebudayaan bersama-sama UIA (Union Internationale des Architectes) membuat standar bersama Pendidikan Arsitek yang mengatur mutu Pendidikan dan pengakuan profesionalitas seorang yang dinyatakan sebagai Arsitek, yang implementasinya diserahkan kepada negara masing-masing. Karena karya seorang Arsitek harus dapat dipertanggungjawabkan, terutama atas keselamatan publik, kualitas lingkungan binaan dan dampak sosial dari karyanya tersebut.

UIA Accord on Recommended International Standards of Professionalism in Architectural Practice, 1999 yang diamandemen pada UIA GA Seoul tahun 2017, menyatakan “Architect is A Person who is always professionally and generally registered/ licensed/certified to practice architecture in the jurisdiction in which he or she practices and is responsible for the fair and sustainable development, the walfare and the cultural expression of the society’s habitat, in term of space, form and historical context”.

Pada amandemen 2017, dalam rangka registrasi/ lisensi, UIA menggariskan pemenuhan kompetensi dasar bertambah, dari 13 butir menjadi 16 butir kompetensi dasar. 3 butir tambahannya adalah:

Tambahan 3 Butir Kompetensi Dasar UIA (Amandemen 2017):

  • Pemahaman kompetensi kreatif dalam Teknik bangunan, yang didasarkan pada pemahaman menyeluruh tentang disiplin ilmu dan metoda konstruksi yang terkait arsitektur.
  • Pengetahuan yang memadai tentang pembiayaan proyek, manajemen proyek dan metoda penyampaian proyek.
  • Pelatihan dalam Teknik penelitian sebagai bagian tak terpisahkan dari pembelajaran arsitektur, baik bagi mahasiswa maupun pengajar.

Dalam bidang pendidikan, pada halaman 9 UIA Accord on Recommended International Standards of Professionalism in Architectural Practice, menyebutkan :

“In accordance with the UIA/UNESCO Charter for Architectural Education, the UIA advocate that education for architects (apart from practical experience/training/internship) be of no less than 5 years duration , delivered on a fulltime basis in an accredited/validated/recognized university or an equivalent institution, while allowing variety in their pedagogic approach and in their responses to local contexts, and flexibility for equivalency”, Pendidikan Arsitek itu tidak kurang dari 5 tahun dan masa kerja sekurang- kurangnya 2 tahun sebelum yang bersangkutan boleh mengikuti Ujian Registrasi Arsitek.

Pertanyaannya, Siapakah yang berhak menerbitkan Registrasi Arsitek ? pertama secara hukum, keberadaan Arsitek itu harus diakui negara sebagai profesi teregulasi dalam bentuk “Architect Act” atau Undang-Undang Arsitek yang akan mengatur kepranataan Praktik Profesi Arsitek termasuk Lembaga yang akan ditunjuk sebagai penerbit Registrasi Arsitek yang ditunjuk oleh negara.

Regulasi dan Praktik Profesi Arsitek di Indonesia

Mengapa diperlukan pengaturan Praktik Profesi Arsitek dalam bentuk Undang- Undang? Karena Karya seorang Arsitek itu melekat dengan keselamatan publik, tanggung jawab professional dan etika, memenuhi standard kualitas dan menjamin kompetensi sang Arsitek, menjamin perlindungan konsumen/klien, menjamin perlindungan terhadap lingkungan dan budaya dan yang tidak kalah penting adalah menjamin menjalankan persaingan yang sehat akan pengakuan profesi.

Setelah penantian selama 58 tahun, akhirnya Indonesia memiliki Undang-Undang Arsitek pada tahun 2017, yaitu Undang-Undang No.6 Tentang Arsitek yang juga telah mengalami beberapa perubahan dan penyesuaian pada Undang-Undang No. 6 Tahun 2023. Tentang Cipta Kerja. Aturan turunannya dirinci pada Peraturan Pemerintah [PP] No. 15 Tahun 2021 Tentang Arsitek.

Mengapa Undang-undang Arsitek ini sangat penting? Karena diseluruh dunia Arsitek merupakan salah satu Profesi Teregulasi [ Regulated Profession ] yang keberadaannya diakui dan diatur dan dilindungi oleh negara, yang sekaligus melindungi kepentingan Arsitek, Pemberi Tugas dan Lingkungan Binaan yang dirancang.

Salah satu tugas Ikatan Arsitek Indonesia [IAI] diperintahkan Oleh Undang-Undang adalah untuk membentuk Dewan Arsitek Indonesia [DAI] sebagai Kuasi Negara yang membantu proses dan penerbitan Registrasi Arsitek.

Tantangan Implementasi Undang-Undang

Dengan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Baik dan ucapan terima kasih Para Pengurus Nasional yang telah berjibaku menggoalkan Undang-undang Arsitek ini, namun kita harus mulai tersadar untuk keluar dari Eforia . Karena faktanya masih banyak pekerjaan rumah susulan pasca Undang-Undang ini terbit, yang ternyata jauh lebih rumit.

Harmonisasi, sinkronisasi perbaikan dan keterbaharuan kepranataan agar sejalan dengan peraturan dan perundang-undangan yang telah terbit menjadi sangat krusial, terlebih selama lebih dari 50 tahun karena kevakuman peraturan mengenai praktik Profesi Arsitek ini, setiap lulusan Sarjana Arsitektur sudah bisa berpraktik Arsitek/ perancang.

Perlu diingat UU Arsitek tidak berdiri sendiri, pada pelaksanaan pengaturan kepranataan harus tetap mengkonsiderasi Undang-undang lain sehubungan Jasa Konstruksi, Pendidikan, Ketenaga kerjaan, Perdagangan dan lainnya. Harmonisasi lintas sectoral ini memerlukan energi yang sangat besar, karena banyak kepentingan disana, diperlukan pendekatan-pendekatan yang sangat taktis agar tujuan harmonisasi ini tercapai.

Pendidikan Arsitektur : Lokal versus Global

Sejak Jurusan Arsitektur berdiri di Indonesia, sampai dengan pertengahan tahun 1996, seorang Sarjana Arsitektur rata-rata menempuh Pendidikan 10 semester atau 5 tahun [secara normatif] bahkan lebih lama [pada periode tahun 1950-1990 an], dan para Sarjana Teknik Arsitektur ini yang memang berminat berpraktik secara otomatis sebagai perancang. Tahun 1996-2014 merupakan masa dimana Pendidikan S1 secara umum adalah 4 tahun [8 semester] hingga ditetapkan pada Permendikbud No. 49 Tahun 2014 Pasal 17 Ayat [3] huruf d menyatakan Masa studi terpakai bagi mahasiswa dengan beban belajar 144 SKS adalah 4 sampai 5 tahun.

Hal ini akan menjadi terlihat kontradiktif dengan ketentuan UIA Accord yang mengatur UIA/UNESCO Charter for Architectural Education menyatakan bahwa: Pendidikan arsitektur harus berlangsung minimal 5 tahun penuh waktu, ditambah pengalaman kerja praktik selama 2 tahun sebelum dapat mengikuti ujian registrasi profesi.

Syarat minimum jumlah Semester yang ditetapkan yang telah diakui dunia untuk Pendidikan Arsitektur. Apakah Indonesia harus patuh dengan UIA Accord ini? Tentu karena Indonesia tidak berdiri sendiri dan merupakan bagian dari masyarakat dunia, dan dalam skala lebih kecil/ regional keberadaan Arsitek Indonesia ini masih dianggap belum setara karena masih belum bisa memenuhi kriteria UIA Accord tersebut.

Pada rentang tahun 1999 – 2016 stake holder Pendidikan Arsitektur dan para Pengurus Nasional IAI berupaya mencari jalan keluar atas kondisi ini, melihat fakta dan statistik bahwa hanya pada rentang 10-15% saja Sarjana Arsitektur yang kemudian berpraktik Arsitek Professonal , artinya 85% lulusan Pendidikan Arsitektur bekerja dibidang lain yang tidak perlu melanjutkan pada Pendidikan Profesi Arsitek [PPAr].

IAI telah membuat dua kategori keanggotaan : anggota biasa dan anggota profesional, tahun 2004 bahkan terbit Sertifikat Anggota Professional dimana disyaratkan agar anggota yang akan melanjutkan pada praktik profesi harus mengikuti Penataran Strata 1-6, selain tentu penataran Kode Etik dan Kaidah Tata Laku Arsitek.

Pada masa Undang-Undang Jasa konstruksi no. 18/1999 Pemerintah pun telah mengatur dengan menugaskan LPJK dan LPJKP untuk menerbitkan SKA bagi professional yang berkerja dalam pasar jasa konstruksi, yang sebenarnya diadaptasi dari kepranataan yang telah lama diatur untuk Anggota IAI.

Amandemen pada General Assembly UIA XXVII pada tahun 2017, lebih keras berbicara soal Pendidikan 10 semester ini, atas kondisi tersebut IAI dan Stakeholder Pendidikan Arsitektur Indonesia menyepakati 2 skema : untuk melanjutkan praktik Profesi Arsitek bisa ditempuh dengan mengenyam Pendidikan S1 [4 tahun] + PPAr [Pendidikan Profesi Arsitek – 1 tahun] atau S1 [4 tahun] + S2 alur Design [2 tahun], dan dua tahun pertama setelah lulus bekerja yang dicatatkan sebagai magang profesi. Apakah aturan ini berlaku untuk semua Sarjana Arsitektur? Tentu tidak!

5 – 10 tahun pertama dari terbitnya Undang-Undang Arsitek bisa dianggap sebagai masa transisional, yang harus disikapi dengan bijaksana dan kemanfaatan yang lebih besar. Dewan Arsitek Indonesia [DAI] sebagai Kuasi Pemerintah telah membuat beberapa kebijakan untuk mengakomodasi percepatan Registrasi Arsitek sejak tahun 2021 yang lalu, antaralain Konversi [SKA ke STRA], re aktivasi [SKA agar dapat dikonversi menjadi STRA] dan Uji Kompetensi.

Ekosistem Profesi : Peran APTARI – IAI – DAI

Sebagai bagian dari ekosistem profesi , IAI tidak bekerjsa sendiri, dalam hal kepranataan keprofesian IAI bertugas menjalankan amanat Undang-undang, dimana Praktik Profesi Arsitek merupakan resultan dari sebuah ekosistem besar dari hulu ke hilir. Di hulu adalah peran Pendidikan Arsitektur [dalam hal ini diorganisasi oleh APTARI – Asosiasi Perguruan Tinggi Arsitektur] - ditengah adalah IAI [sebagai Asosiasi Profesi yang memberikan pembekalan dan pembinaan] dan dihilir adalah DAI [muara tempat uji kompetensi dan penerbitan Registrasi/ STRA] . Suka tidak suka, kita harus mengakui masih terdapat kesenjangan yang cukup lebar pada penyelenggara Pendidikan Arsitektur kita, dari data APTARI Agustus 2024 terdapat 164 Prodi Arsitektur yang bergabung, diluar APTARI kemungkinan masih ada puluhan Prodi lagi.

Peran Kunci dalam Ekosistem Profesi Arsitek:

APTARI

(Asosiasi Perguruan Tinggi Arsitektur)

Berperan di hulu, APTARI mengorganisasi dan menetapkan standar bagi institusi pendidikan arsitektur, memastikan kualitas dasar lulusan sebagai calon arsitek.

IAI

(Ikatan Arsitek Indonesia)

Berada di tengah, IAI sebagai organisasi profesi bertugas melakukan pembinaan, pembekalan, dan pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB/CPD) bagi para anggotanya.

DAI

(Dewan Arsitek Indonesia)

Sebagai muara di hilir, DAI adalah lembaga kuasi negara yang menjalankan amanat UU untuk menyelenggarakan uji kompetensi dan menerbitkan registrasi (STRA) bagi arsitek.

Baku kompetensi lulusan Prodi Arsitektur ini cukup jauh rentang kesenjangannya meskipun dengan jumlah SKS, mata kuliah dan studio perancangan arsitektur yang sama. Sebagai contoh pemahaman akan kriteria dan konteks desain. Sekolah Arsitektur di Kota- kota besar dipulau Jawa memiliki kesempatan lebih baik dalam meng “exercise ” desain bangunan-bangunan medium-high rise , tapi tidak untuk kota-kota lainnya. Contoh lain adalah pemahaman akan konteks regulasi, Jakarta tidak bisa menjadi standar tapi pada kenyataannya Jakarta adalah kota yang sangat rumit, yang pasti juga didampingi oleh regulasi yang paling lengkap. Pendidikan Arsitektur selama 8 semester adalah waktu yang relative pendek untuk membekali seorang Sarjana Arsitektur untuk siap berpraktek Profesi Arsitek, ini tidak semata-mata karena syarat kesetaraan UIA, namun membangun pemahaman praktik profesi tidak semata soal mampu membuat desain yang baik, tapi juga bagaimana desain itu harus dipertanggungjawabkan untuk kemanusiaan dan manusia itu sendiri.

Lalu dimana peran IAI?

IAI berupaya keras untuk mempersiapkan peta jalan, membangun sistem , melakukan lobbying kepada berbagai pihak [kementerian, Lembaga, asosiasi profesi serumpun] dan menyusun program-program terstruktur-terukur dan terjadwal agar para Sarjana Arsitektur yang kelak benar-benar akan berpraktik profesi Arsitek yang memiliki keunggulan kompetitif dan siap bertempur di dunia professional sesungguhnya, bersaing secara sehat dan etis dengan Arsitek-arsitek dalam dan luar negeri.

Peta jalan yang disusun IAI tidak hanya untuk para lulusan baru, tetapi juga untuk Perancang yang sebelum Undang-Undang Arsitek terbit pernah berpraktik sebagai Arsitek, yang tentu persiapan dan penanganannya berbeda. Dalam hal penerbitan STRA, sebenarnya DAI memiliki dua jalur : Uji Kompetensi dan RPL [Rekognisi Pembelajaran Lampau, untuk yang telah berpraktek lebih dari 10 tahun, telah atau tidak memiliki latar Pendidikan tinggi Arsitektur dan belum pernah ber SKA]. Skema-skema ini bisa dilihat secara lengkap pada laman web DAI.

Untuk kemudahan anggota, IAI dan DAI mempersiapkan beberapa program khusus antaralain EPA-RM [Ekuivalensi Pendidikan Arsitektur- Rekognisi Magang : untuk lulusan sebelum tahun 2019 dengan pengalaman kerja selama 6 tahun], mengusulkan beberapa program kepada DAI dan program ODS [ One Day Solution ] metoda ujian dengan materi portofolio.

Mengapa harus mengumpulkan KUM?

UIA mensyaratkan “That UIA urge its member sections to establish regimes of continuing professional development as a duty of membership, in the public interest”. CPD [continuing professional development] point merupakan syarat mutlak untuk menjaga kompetensi setiap Arsitek, Undang-Undang 6/2017 , PP 15/2021 dan Permen PUPR No.12/ 2021 Tentang Pelaksanaan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan.

IAI harus mensejajarkan dan mengkoneksikan Program Pengembangan Keprofesian Arsitek dengan PKB [Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan] Kementerian PUPR, berupa kesepahaman tatacara perolehan KUM [CPD Point], kriteria beserta nilainya, karena bagaimana pun KUM ini merupakan syarat perpanjangan SKK yang telah diatur oleh Pemerintah.

Untuk kemudahan anggota IAI telah membangun sistem digital IAI Satu Data dan IAI Interaktif , sehingga setiap anggota dapat setiap saat melaporkan, meminta Nilai KUM dan update total KUM yang diperoleh terhubung dengan WA Interaktif IAI. Permen 12/ 2021 mensyaratkan 40 KUM poin pertahun yang saat ini masih berlaku, Badan Keprofesian IAI sedang berupaya untuk menyesuaikan besaran nilai KUM yang tidak memberatkan bagi Arsitek, namun tetap inline dengan system LPJK.

STRA, LISENSI DAN SKK

apakah harus semua dimiliki Arsitek?

STRA merupakan bukti hukum bahwa negara mengakui seseorang telah memenuhi syarat sebagai Arsitek, ibarat SIM dalam berkendara, STRA adalah SIM bagi Arsitek, dan STRA ini wajib bagi semua Arsitek, karena menurut Undang-Undang diksi “Arsitek” itu melekat dengan “STRA” nya.

Sedangkan Lisensi adalah izin operasional yang merujuk pada yuridiksi area tertentu yang diterbitkan Pemerintah Provinsi. Keberadaan Lisensi sebenarnya akan sangat terasa manfaatnya sebagai upaya untuk melindungi keberadaan arsitek lokal di provinsi tersebut, Adapun jika ada Arsitek yang berasal dariluar Provinsi, mereka memiliki dua pilihan : bekerja sama dengan Arsitek lokal atau membuat Lisensi di Provisi tersebut.

Bagaimana dengan SKK? SKK atau Sertifikat Kompetensi Kerja merupakan syarat kompetensi yang diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi [LSP] yang terakreditasi oleh LPJK [dalam konteks jasa konstruksi] dan terlisensi oleh BNSP [Badan Nasional Sertifikasi Profesi].

Kesimpulannya, jika Arsitek berpraktik dalam team [Biro Arsitek] yang diperlukan adalah STRA, tidak perlu semua Arsitek memiliki Lisensi, cukup satu diantara mereka yang berperan sebagai Record Architect [AIA : arsitek yang secara resmi tercatat atau tercantum dalam proyek , dan bertanggung jawab atas dokumen arsitektur proyek tersebut] atau juga dikenal dengan istilah QP/ Qualified Person [RIBA : Arsitek profesional bersertifikat dan terdaftar resmi yang berwenang untuk mengajukan dokumen rencana bangunan kepada otoritas pemerintah], namun jika Arsitek bekerja sendiri maka ia harus memiliki STRA dan LIsensi karena dia berperan sebagai Principal sekaligus Record Architect.

Sekarang bagaimana dengan SKK ? Undang-Undang No.2/2017 Tentang Jasa Konstruksi memilki pengaturan sendiri untuk keterlibatan tenaga ahli dalam proyek-proyek pemerintah, sebenarnya menurut UU 6/2017 STRA salah satu perannya juga sebagai SKK untuk proyek-proyek Pemerintah, namun proses harmonisasi dan sinkronisasi ini rupanya masih cukup Panjang jadi sementara waktu untuk keperluan SBU [ Sertifikat Badan Usaha] SKK merupakan syarat yang diminta oleh UU 2/2017.

Sebagai pernyataan kehadiran IAI yang merupakan Asosiasi Profesi Terakreditasi IAI membentuk LSP SARSI [Sertifikasi Arsitek Indonesia] dengan tujuan untuk kemudahan proses sinkronisasi STRA dan SKK ini, diharapkan tujuan akhir STRA ultimate sekaligus SKK ini akan tercapai, sehingga proses registrasi dan sertifikasi ini kedepan hanya perlu satu proses saja.

Apakah dengan memiliki STRA, Lisensi dan SKK menjamin mendapatkan proyek dengan imbal jasa yang lebih baik? Secara tidak langsung kita menuju kesana, namun perlu dipahami bahwa proyek dan lapangan kerja yang tersedia tergantung banyak faktor, terutama adalah pertumbuhan ekonomi dan pemahaman masyarakat akan tugas dan peran Arsitek. BPS menyebutkan tiap kenaikan pertumbuhan ekonomi 1% kurang lebih akan membuka 200 ribu lapangan pekerjaan, saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia belum menembus 2 digit, artinya Arsitek-Arsitek justru harus memiliki harapan untuk menciptakan lapangan kerja dengan memiliki Praktik Profesi sendiri, dengan 6.200 STRA yang telah terbit rasio arsitek dan penduduk Indonesia masih 1 : 49.000, idealnya menurut DAI rasionya adalah 1 : 15.000, profesi ini masih menjanjikan hidup yang lebih baik.

IAI masih dan akan terus berupaya mempersiapkan Arsitek Indonesia yang benar- benar memiliki keunggulan kompetitif bukan keunggulan komparatif, salah satunya dengan mempersiapkan AAPDC [Architectural Advance Development Course] sebagai capacity building course untuk anggota IAI dan para Arsitek, dan cikal bakal IAI ACADEMY dikemudian hari. Platform digital merupakan satu-satunya cara untuk dapat menjangkau 28.200 anggota di seluruh Indonesia. Course berbasis daring ini telah memiliki 208 silabus dengan 7 kategori, dari mulai aspek manajemen, regulasi, tata kelola biro, tipologi fungsi bangunan hingga integrasi interdisipliner yang digali dari para narasumber yang kompeten dibidangnya, diharapkan AAPDC ini akan menyamakan frekuensi standar kompetensi Arsitek untuk menutup celah yang masih terbuka antara praktik profesi di provinsi-provisi yang lebih maju dengan yang tertinggal.

Menatap Ke Depan: Arsitek Indonesia, Siapkah Kita?

Profesi arsitek di Indonesia sedang berada di titik penting—di tengah gelombang perubahan global yang cepat dan kompleks. AI, disrupsi teknologi, perubahan iklim, tuntutan keberlanjutan, hingga kompetisi lintas negara membuat kita nggak bisa lagi hanya melihat ke dalam. Kita harus berbenah ke dalam, tapi juga terbuka ke luar.

Undang-Undang Arsitek yang hadir setelah penantian puluhan tahun adalah pijakan awal yang sangat berharga. Tapi ini bukan garis akhir—justru titik start baru yang menuntut kerja kolektif dari semua pihak: kampus, asosiasi, praktisi, pemerintah, dan masyarakat pengguna jasa arsitek itu sendiri.

Kita harus keluar dari ego sektoral dan mulai bicara dalam bahasa yang sama: bahasa kolaborasi dan kualitas. Dunia sudah berubah, dan kita tidak bisa lagi berjalan sendiri- sendiri. Kita harus memastikan bahwa setiap lulusan arsitektur yang ingin masuk ke dunia profesional memiliki pemahaman yang utuh—soal desain, soal tanggung jawab, dan soal masa depan lingkungan binaan kita.

IAI, APTARI, dan DAI bukanlah institusi yang berdiri sendiri-sendiri. Mereka adalah bagian dari satu ekosistem yang harus saling memperkuat. Kampus menyiapkan fondasi, IAI membentuk karakter profesi, dan DAI menguji serta menjaga kualitasnya.

Akhirnya, kita harus kembali ke pertanyaan besar: Quo Vadis, profesi arsitek Indonesia? Mau ke mana kita membawa profesi ini?

Kalau jawabannya adalah menuju praktik profesi yang tertib, berkelanjutan, dan lebih baik maka semua langkah kita—hari ini dan ke depan—harus sejalan dengan tujuan besar itu. Tidak bisa setengah hati. Tidak bisa jalan sendiri.

Karena benar, mungkin kita tidak dalam perahu yang sama. Tapi kita jelas berada dalam badai yang sama. Dan satu-satunya cara kita bisa keluar dari badai ini adalah dengan bekerja sama, saling jaga arah, dan tetap bergerak maju—bersama-sama.